Sabtu, 27 Maret 2010

Antropologi Sosial

Etnografi dan masalah Aneka warna manusia

TEORI ANTROPOLOGI I

Masalah aneka warna manusia di Eropa dalam abad Ke-16 hingga ke-19

Orang awam di Eropa pada umumnya tertarik akan sifat yang aneh dari benda-benda kebudayaan orang Afrika, orang Asia, orang Oseania, atau orang Indian Ameriak itu. Terdapat tiga pandangan dasar mengenai masyarakat dan kebudayaan manusia.
Pandangan pertama berdasarkan keyakinan bahwa sifat aneka warna manusia, baik ragawi maupun rohani, yang tampak dari bahan etnografi dan etnografikaitu, disebabkan karena mahluk manusia dari sejak awal diciptakan beraneka warna, atau karena mahluk manusia diturunkan dari beraneka warna mahluk induk. Berdasarkan cara berpikir itu, terdapat suatu pandangan yang seringkali disebut polygenesis, yang menganggap bahwa manusia dari ras kaukasoid dengan kebudayaannya yang berkembang di Eropa Barat itu berasal dari mahluk induk yang lebih kuat, lebih mampu, dan lebih tinggi daripada manusia ras lainnya.
Pandangan kedua adalah berdasarkan keyakinan bahwa manusia diciptakan sekali, yaitu bahwa manusia adalah keturunan dari satu mahluk induk. Pandangan ini juga disebut monogenesis. Dapat dibagi lagi kedalam dua sub pandangan. Pandangan pertama berdasarkan keyakinan bahwa semua mahluk manusia adalah keturunan nabi Adam. Sebaliknya ada juga sub pandangan yang mempunyai keyakinan bahwa mahluk manusia tidak mengalami degenerasi, tetapi kemajuan, dan bahwa aneka-warna masyarakat dan kebudayaan yang kini tampak itu disebabkan karena tingkat-tingkat kemajuan yang berbeda-beda pada tiap masyarakat manusia.

Ilmu anatomi dan masalah aneka warna manusia
Klasifikasi dari aneka-warna ciri tubuh manusia dalam hubungannya dengan sejarah persebarannya dimuka, dilakukan oleh seorang dokter bernama J.C Prichard (1786-1848) ia menghubungkan data etnografi mengenai ciri-ciri fisik dengan data etnografi mengenai kebudayaan berbagai bangsa yang tersebar didunia. Suatu teori yang menyatakan bahwa perobahan cara hidup, artinya perobahan kebudayaan, juga merupakan salah satu sebab dari perobahan ciri fisik manusia dikembangkannya dalam du buah buku ytang berjudul Research into the Physical History of man (1813) dan the natural History of man .

Filsafat social dan masalah aneka warna manusia
Montesquieu mencoba meneliti bebrapa gejala sosial mengenai hokum, pengendalian sosial dan integrasi social, dan himpunan data yang dikumpulkannya dalam waktu kira-kira 20 tahun dari sejumlah masyarakat yang berbeda-beda di Eropa dianalisa secara komparatif induktif. Beberap kesimpulan penting yang terdapat dalam bukunya yang terkenal L’Espirit de Loi (1748) ialah bahwa gejala aneka- warna masyarakat manusia merupakan akibat dari pengaruh sejarah masing-masing, tetapi juga pengaruh lingkungan alamnya dan struktur internnya. Ia juga pertama-tama mengajukan pandangan yang kelak dalam ilmu antropologi terkenal dengan nama relativisme kebudayaan, yaitu bahwa suatu unsure atau adapt dalam suatu kebudayaan tak dapat dinilai dengan pandangan yang berasal dari kebudayaan lain, melainkan dari system nilai yang pasti ada didalamnya sendiri. Akhirnya dalam bukunya ia juga mengajukan konsep tentang kemajuan masyarakat melalui tiga tingkat evolusi social, yaitu: tingkat masyarakat berburu atau liar (sauvage), tingkat beternak atau tingkat barbar (barbarisme) dan tingkat pertanian diman berkembang peradaban (civilization)
W. Robertson dari universitas Edinburgh yang menulis buku berjudul the histori of Amaerica (1777) diamana diajukan soal-soal yang kelak menjadi topic-topik penting dalam Antropologi. Ia juga berbicara tentang adanaya proses kemajuan kebudayaan manusia, yang dengan lambat berkembang dari bentuk- bentuk yang complex, dengna melalui tibgkat-tingkat savagery, barbarism, dan civilization. Ia berpendirian bahwa aneka warna kebudayaan yang kini tampak pada bangsa-bangsa dimuka bumi ini tidak disebabkan karena bangsa-bangsa itu dahulu berasal dari jenis-jenis mahluk induk yang berbeda, melainkan karena mereka terkena pengaruh lingkungan alam yang berbeda.

Filsafat Positivisme dan masalah aneka-warna manusia
Aguste Comte dalam buku raksasanya yang berjudul Course de Philosophie Positive (1830-1842). Comte mengajukan pendapatnya mengenai metodologi ilmiah umum, artinya yang dapat diterapkan terhadap semua ilmu pengetahuan yang ada. Suatu metodologi semacam itu idak perlu lagi meneliti sebab azasi dari gejala-gejala yang ada idunia ini, tetapi hany mencari, menganalisa, dan mendeskripsi hubungan-hubungan antara gejala-gejal yang ada itu secara eksak, kalau bias dengan rumus-rumus seperti dalam ilmu pasti.
Ilmu sosiologi sebagai ilmu yang baru oleh Comte dianggapa terdiri dari dua sub-ilmu, yaitu sosiologi statika dan sosilogi dinamika. Sub-ilmu yang pertama mempelajari hubungan-hubungan yang mantap antara bagian-bagian dari masyarakat dan gejala-gejala dalam masyarakat; sedangkan sub-ilmu yang kedua adalah sub-ilmu yang mempelajari perobahan-perobahan dalam hubungan-hubungan itu. Perobahan itu menurut Comte disebabkan karena cara berpikir manusia itu telah mengalami perobahan dan proses dalam tiga tahap, yaitu:
Tahap bahwa sebab dari semua gejala itu bersumber pada kehendak roh, dewa ,Tuhan.
Teologi yaitu tahap berpikir secara metafisik, yaitu tahap dimana manusia menerangkan bahwa gejala-gejala itu bersumber kepada kekuatan gaib atau abstrak.
Tahap berpikir secara ilmiah, manusia menkhusus kepada analisa untuk dapat mencapai pengertian tentang pengaruh hubungna dari gejal-gejal tertentu terhadap gejala-gejal lain dalam alam dan kehidupan masyarakat manusia. Sejajar dengna ketiga tahap perkembangan cara berpikir manusia itu, ada wujud kesinian religi, organisasi masyarakat, system pengetahuan, kesenian dan organisasi social yang tertentu.

3.Masalah aneka-warna manusia
Penelitian komparatif terhadap bahasa-bahasa didunia menimbulakan ilmu perbandingan bahasa pada pertengahan abad ke-19. Mula-mula ahli perbandingan bahasa seperti F. Bopp dan lain-lain melakukan analisa perbandingna bahasa antara bahasa yang tersebar diEropa Barat, Eropa Selatan, Armenia, Iran, Afganistan, Pakistan dan India, mereka beranggapan bahwa semua bahasa didaerah yang yang luas itu dapat digolongkan dalam satu keluarga bahasa yang besar , yang meraka sebut keluarga bahasa Indo-German.

Konsep Evolusi dalam ilmu Biologi
Ahli biologi C. Darwin (1809-1882) dalam bukunya The Origin of Species (1859) mengajukan bahwa semua bentuk hidup dan jenis mahluk yang kini ada didunia ini dipengaruhi oleh berbagai macam proses alamiah, berevolusi atau berkembang sangat lambat dari bentuk-bentuk yang sangat sederhana menjadi beberapa jenis mahluk baru yang lebih kompleks lagi, dan demikian seterusnya hingga dalam jangka waktu beratus-ratus juta tahun terjadilah mahlujk yang kompleks seperti kera dan manusia.
Menurut Wallace semakin kejam dan keras tekanan alamnya, maka semakin tinggi pula mutu yang menjadi syarat bagi organisma individu-individu dari suatu jenis yang memiliki sifat-sifat yang dapat memenuhi syarat alamiah itulah yang dapat bertahan untk hidup terus.

Masalah asal-mula evolusi manusia
Penelitian-penelitian terhadap masalah asal-mula manusia dengna menganalisa dan membanding-bandingkan fosil-fosil manusia zaman dahulu yang terkandung dalam lapisan-lapisan bumi menjadi ilmu baru yang merupakan bagian dari antropologi fisik dengan sebutan ilmu paleoantropologi. Buku yang memberi pandangan baru tehadap umur beradanya mahluk manusia didunia, antara lain adalah tulisan ahli geologi C. Lyell, The Geological Evidence of The Antiquity of man (1863)
J. Boucher de Pertes seorang pegawai Pos dalam bukunya De l’homme Antediluvien et de ses Ouevres (1860) memberi pengertian kepada dunia ilmiah bahwa manusia itu sudah berkebudayaan sejak beratus-ratus ribu tahun yang lalu. Kemudian, berdampingan dengan kemajuan ilmu geologi dan paleoantropologi, mulailah aktifitas penelitian dari suatu ilmu yang baru, yaitu prehistori, berupa penggalian-penggalian terhadap benda-benda bekas alat-alat manusia dari zaman Batu tua, zaman batu Madya, zaman batu baru.
Para ahli piker eropa pada waktu itu menganggap kebudayaan dan masyarakat seperti yang hidup dalam kota-kota besar di Eropa Barat itu sebagai contoh-contoh dari kebudayaan yang paling tinggi dan palibng maju, sedangkan semau bentuk kebudayaan dan masyarakat dari bangsa-bangsa diluar merupakan contoh dari tingkat-tingkat kebudayaan manusia yang lebih rendah dan lebih kuno.
Pendirina Meiners yang menghubungkan cirri-ciri mental yang menyebabkan berkembangnya kebudayaan itu dengan tinggi rendahnya ras, disebut determinism eras.
Lembaga-lembaga Antropologi yang pertama
Lembaga Societe di pris didirikan oleh cendekiawan M. Edwards. Sedangkan dalam tahun 1843 di Londonb didirikan The Ethnological Society oleh cendikiawan yang merupakan salah seorang tokoh anti- perbudakandan pejuang untuk penghapusan perbudakan dan pejuang untuk penghapusan perbudakan bernama T Hodgkin.
Lembaga itu menjadi pusat pengumpulan dan studi dari sebanyak mungkin kebudayaan yang ada dimuka bumi. Suatu proyek pertama dari lembaga Etnografi di London itu adalah menyusun suatu buku pedoman untuk mengumpulkan bahan etnografi secara teliti, yang dapat dipakai oleh siapa saja dilapangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar